MAKALAH SEJARAH SASTRA
Ciri-ciri angkatan Balai Pustaka dalam roman Salah Asuhan karya
abdul mukis
Disusun
Oleh:
Eva
Dwi Saslita
JURUSAN
PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA DAN SASTRA
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
ISLAM RIAU
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Sejarah Angkatan Balai Pustaka
Dalam sejarahnya awal mula Balai
Pustaka terbentuk ketika pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan komisi untuk
bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat, pada 14 September 1908 melalui
keputusan Gubernemen dengan nama awal yaitu Commissie voor de inlandsche
school en volkslectuur diketuai oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Dan Balai Pustaka
baru menghasilkan bacaan pada tahun 1910 yang dipimpin oleh Dr. D.A. Rinkes
sampai tahun 1916 dengan tugasnya adalah memajukam moral dan budaya serta
meningkatkan apresiasi sastra. Kemudian pada tahun 1917 pemerintahan Kolonial
Belanda mendirikan Kantoor voor de volkslectuur atau Kantor Bacaan
Rakyat yaitu Balai Pustaka.
Tujuan didirikannya Balai Pustaka
ialah untuk mengembangkan bahasa – bahasa seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda,
bahasa Melayu tinggi dan bahasa Madura. Serta mencegah pengaruh buruk dari
bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki
misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Tujuan inti didirikannya Komisi
Bacaan Rakyat adalah meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa
Indonesia lewat media tulisan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
Belanda. Tujuan lainnya adalah menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa
hal ini bertujuan agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang
di negaranya sendiri.
Adapun usaha – usaha positif yang
dilakukan yaitu mengadakan perpustakaan di tiap – tiap sekolah, mengadakan
peminjaman buku – buku dengan tarif murah secara teratur, dan memberikan
bantuan kepada usaha – usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan.
Jadi, beberapa faktor berikut inilah yang menjadi penyebab
perjalanan kesusastraan Indonesia berkembang mengikuti idiologi kolonial :
- Pendirian Balai Pustaka telah menafikan keberadaan karya – karya terbitan swasta yang secara sepihak dituding sebagai “bacaan liar”. Karya – karya sastra yang dipublikasikan lewat surat kabar dan majalah, dianggap tidak ada.
- Pemberlakuan sensor melalui Nota Rinkes menyebabkan buku – buku terbitan Balai Pustaka, khasnya novel – novel Indonesia sebelum perang, cenderung menampilkan tokoh – tokoh yang terkesan karikaturs.
- Penetapan bahasa melayu mendorong munculnya sastrawan – sastrawan yang menguasai bahasa Melayu. Dan mereka datang dari Sumatera. Maka, sastrawan yang berasal dari Sumatera itulah yang kemudian mendominasi peta kesusastraan Indonesia.
Sastra Balai Pustaka adalah sastra
rakyat yang berpijak pada kultur Indonesia abad 20. Hal ini dengan jelas nampak
dari roman – roman Balai Pustaka dalam bahasa jawa, sunda, dan melayu tinggi. Sastra Balai
Pustaka sebenarnya adalah “sastra daerah”, bukan saja dalam arti menggunakan
bahasa daerah tetapi juga menggarap tema – tema kedaerahan, bisa dilihat
dari karya – karya yang lahir pada saat itu.
Saat itu buku – buku yang diterbitkan
Balai Pustaka dapat dibagi tiga; pertama, buku untuk anak – anak. Kedua, buku
hiburan dan penambahan pengetahuan dalam bahasa daerah. Ketiga, buku hiburan
dan penambahan pengetahuan dalam bahasa melayu dan kemudian menjadi bahasa
Indonesia.
Pada masa pendudukan jepang
(1942-1945) Balai Pustaka masih tetap eksis namun menggunakan nama lain yaitu, Gunseikanbo
Kokumin Tosyokyoku yang artinya Biro Pustaka Rakyat Pemerintah Militer
Jepang.
Zaman
keemasan Balai Pustaka sekitar tahun 1948 hingga pertengahan tahun 50-an ketika
dipimpin oleh K.St. Pamoentjak dan mendominasi penerbitan buku – buku sastra
dan sejumlah pengarang Indonesia bermunculan seperti H.B.Jassin, Idrus,
M.Taslim, dan lain – lain.
B. BIOGRAFI
PENGARANG
Nama : Abdul Muis
Lahir : Sungai Puar-Bukit Tinggi, 3 Juli 1883
Meningga : Bandung, 17 Juni 1959
Pendidikan :
a. Sekolah Dasar
b. STOVIA /Sekolah dokter (tidak lulus)
Pengalaman
a. PekerjaanPegawai Negeri
b. Wartawan
Pengalaman Organisasi :
a. Pengurus Besar Sarekat Islam
b. Pendiri Komite Bumiputera
c. Pendiri Persatuan Perjuangan Priangan
d. Anggota Komite Indie Weerbaar
Perjuangan :
a.
Mengecam
tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui tulisannya di harian de Express
b.
Menentang rencana Pemerintah Belanda
mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaannya melalui Komite
Bumiputera
c.
Memimpin pemogokan kaum buruh di daerah
Yogyakarta
d.
Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam
pendirian Technische Hooge School - Institut Teknologi Bandung (ITB)
Karya
Sastra : Salah Asuhan
Tanda Kehormatan : Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Meninggal/Dimakamkan : Bandung, 17 Juni 1959
Tanda Kehormatan : Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Meninggal/Dimakamkan : Bandung, 17 Juni 1959
Melawan Belanda Dengan Pena
Perlawanan terhadap penjajahan Belanda
dilakukannya tanpa putus-putus dengan berbagai cara. Dengan ‘pena’-nya yang
tajam, partai politik, komite perlawanan orang pribumi, bahkan memimpin mogok
kerja. Sebagai seorang wartawan, tulisan Abdul Muis merupakan tulisan
perlawanan terhadap Belanda.
Begitu juga
sebagai Pengurus Besar Sarekat Islam, ia selalu menanamkan semangat perlawanan
kepada anggotanya. Ia juga mendirikan Komite Bumiputera bersama tokoh-tokoh
pergerakan nasional lainnya sebagai perlawanan terhadap rencana Pemerintah
Belanda yang akan merayakan hari kemerdekaannya yang ke seratus di Indonesia.
Tokoh yang menjadi utusan
ke Negeri Belanda sebagai anggota Komite Indie Weerbaar sehubungan dengan
terjadinya Perang Dunia pertama ini, juga merupakan tokoh di belakang cikal
bakal berdirinya Institut Teknologi Bandung (ITB). Pejuang yang
juga terkenal sebagai sastrawan ini, hingga Indonesia merdeka tetap melakukan
perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan mendirikan Persatuan Perjuangan
Priangan.
Sebelum terjun menekuni
dunia kewartawanan, pria yang lahir di Sungai Puar, Bukit Tinggi, 3 Juli 1883,
ini sempat menjadi pegawai negeri. Pekerjaan itu ia geluti beberapa waktu saja
setelah memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya di STOVIA (Sekolah
dokter). Namanya mulai dikenal oleh masyarakat ketika
karangannya yang banyak dimuat di harian de Express selalu mengecam tulisan
orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia.
Untuk
mengefektifkan perjuangannya, ia selanjutnya terjun berpolitik praktis dengan
menjadi anggota Sarekat Islam. Di organisasi tersebut ia diangkat menjadi salah
seorang anggota Pengurus Besar. Kepada anggota sarekat, ia selalu menanamkan
semangat perjuangan melawan penjajahan Belanda. Bahkan ketika Kongres Sarekat
Islam diadakan pada tahun 1916, ia menganjurkan agar Sarekat Islam (SI)
bersiap-siap menempuh cara kekerasan menghadapi Belanda jika cara lunak tidak
berhasil.
Perlawanan
tidak hanya ditujukannya kepada Pemerintahan kolonial Belanda, tapi terhadap
ajaran-ajaran yang tidak disetujuinya. Seperti selama kesertaannya di Sarekat
Islam, ia selalu berjuang agar diadakan disiplin partai, yang intinya untuk
mengeluarkan anggota-anggota yang sudah dipengaruhi oleh paham komunis.
Pada tahun 1913,
ia bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya seperti Ki Hajar Dewantara,
mendirikan Komite Bumiputera. Komite ini dibentuk awalnya adalah untuk
menentang rencana Pemerintah Belanda mengadakan perayaan peringatan seratus
tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Perancis. Rencana Pemerintah
Belanda tersebut memang sesuatu yang ironis. Di negeri yang sedang di jajahnya,
mereka hendak merayakan hari kemerdekaannya secara besar-besaran. Itulah yang
ditentang oleh para tokoh pergerakan nasional tersebut. Namun oleh karena
perlawanan itu, ia akhirnya ditangkap oleh Pemerintah Belanda.
Ketika Perang
Dunia I terjadi, bangsa ini pun siap sedia mengatasi kemungkinan-kemungkinan
terburuk yang akan terjadi. Untuk itu, pada tahun 1917, Abdul Muis diutus ke
Negeri Belanda sebagai anggota Komite Indie Weerbaar guna membicarakan masalah
pertahanan bagi bangsa Indonesia.
Selain itu, ia
juga berusaha mempengaruhi tokoh-tokoh bangsa Belanda agar mendirikan sekolah
teknik di Indonesia. Usahanya tersebut beberapa tahun kemudian membuahkan
hasil. Oleh Belanda didirikanlah Technische Hooge School di Bandung yang
dikemudian hari berganti nama menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB)
sekarang.
Abdul Muis
terkenal sebagai orang yang selalu membela kepentingan rakyat kecil. Ia sering
berkunjung ke daerah-daerah untuk membela rakyat kecil tersebut sambil
membangkitkan semangat para pemuda agar semakin giat berjuang untuk kemerdekaan
bangsa dan tanah air Indonesia.
Melawan Belanda
sepertinya ia tidak kehabisan ide, berbagai cara perlawanan pernah dilakukannya
termasuk mengajak kaum buruh untuk melakukan mogok. Seperti yang dilakukannya
pada tahun 1922, ia memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta. Karena
tindakannya itu, ia kembali ditangkap oleh Pemerintah Belanda dan
mengasingkannya ke Garut, Jawa Barat.
Di samping
terkenal sebagai pejuang kemerdekaan, ia juga terkenal sebagai seorang
sastrawan Indonesia. Karya sastra yang berjudul “Salah Asuhan” yang sangat
terkenal itu merupakan salah satu dari karyanya. Sang Pahlawan Pergerakan Nasional dan Sastrawan
yang hingga kemerdekaan ini tetap tinggal di Jawa Barat berprinsip bahwa
perjuangan tidak pernah berhenti. Setelah kemerdekaan ia mendirikan Persatuan
Perjuangan Priangan, suatu persatuan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Pada tanggal 17 Juni 1959, pahlawan ini meninggal di Bandung dan dimakamkan di
sana juga.
BAB II
KARYA YANG DIANALISIS
Sinopsis Roman Salah Asuhan
Judul :
SALAH ASUHAN
Pengarang :
Abdul Muis
Tahun terbit :
1995
Penerbit :
Balai Pustaka
Jumlah halaman : 262 halaman
Sinopsis
Hanafi, laki-laki muda yang asli orang Minangkabau, berpendidikan
tinggi dan berpandangan kebarat-baratan. Bahkan ia cenderung memandang rendah
bangsanya sendiri. Sejak kecil Hanafi berteman dengan Corrie du Bussee, gadis
Indo-Belanda yang amat cantik parasnya, lincah dan menjadi dambaan setiap pria
yang mengenalnya. Karena selalu bersama-sama mereka pun saling mencintai satu
sama lain.
Setiap hari mereka berdua bermain tenis. Tapi cinta mereka tidak
dapat disatukan karena perbadaan bangsa. Jika orang Bumiputera menikah dengan
keturunan Belanda maka mereka akan dijauhi oleh para sahabatnya dan orang lain.
Untuk itu Corrie pun meninggalkan Minangkabau dan pergi ke Betawi agar
hilanglah perasaan Corrie kepada Hanafi. Perpindahan itu sengaja ia lakukan
untuk menghindar dari Hanafi dan sekaligus untuk meneruskan sekolahnya di sana.
Tuan du bussee adalah ayah Corrie. Dia adalah orang prancis yang
sudah pension dari jabatan arsiteknya. Di hari pensiunnya dia menghabiskan
waktu untuk anaknya Corrie. Tapi dia juga suka dengan berburu, meski umurnya
sudah enam puluh Tahun.
Tidak ada hutan belukar yang tidak dia kunjungi. Apa bila senapan
itu meletus, dapatlah seeokor penghuni rimba. Kulitnya di jemur lalu dikirim ke
paris. Dari situlah biaya kehidupan Corrie untuk bersekolah dan untuk makan
mereka berdua sebab istri Tuan Du bussee sudah meninggal sejak Corrie
masih kecil. Pada waktu itu juga dia tidak sampai hati meninggalkan kuburan
istrinya yang berada di solok.
Akhirnya ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah. Rapiah
adalah sepupu Hanafi, gadis Minangkabau sederhana yang berperangai halus, taat
pada tradisi dan adatnya. Ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah
yaitu untuk membalas budi pada ayah Rapiah yang telah membantu membiayai
sekolah Hanafi.
Awalnya Hanafi tidak mau karena cintanya hanya untuk Corrie saja.
Tapi dengan bujukan ibunya walaupun terpaksa ia menikah juga dengan Rapiah.
Karena Hanafi tidak mencintai Rapiah, di rumah Rapiah hanya diperlakukan seperti
babu, mungkin Hanafi menganggap bahwa Rapiah itu seperti tidak ada apabila
banyak temannya orang Belanda yang datang ke rumahnya. Hanafi dan Rapiah
dikarunia seorang anak laki-laki yaitu Syafei.
Suatu hari Hanafi digigit anjing gila, maka dia harus berobat ke
Betawi agar sembuh. Di Betawi Hanafi dipertemukan kembali dengan Corrie.
Disana, Hanafi menikah dengan Corrie dan mengirim surat pada ibunya bahwa dia
menceraikan Rapiah. Ibu Hanafi dan Rapiah pun sangat sedih tetapi walaupun
Hanafi seperti itu Rapiah tetap sabar dan tetap tinggal dengan Ibu Hanafi.
Perkawinannya dengan Corrie ternyata tidak bahagia, sampai-sampai Corrie
dituduh suka melayani laki-laki lain oleh Hanafi. Akhirnya Corrie pun sakit
hati dan pergi dari rumah menuju Semarang. Corrie sakit Kholera dan meninggal
dunia.
Hanafi sangat menyesal telah menyakiti hati Corrie dan sangat sedih
atas kematian Corrie, Hanafi pun pulang kembali ke kampung halamannya dan
menemui ibunya, disna Hanafi hanya diam saja. Seakan-akan hidupnya sudah tidak
ada artinya lagi. Hanafi sakit, kata dokter ia minum sublimat (racun) untuk
mengakiri hidupnya, dan akhirnya dia meninggal dunia.
Dua Tahun sudah terlampaui, Corrie sudah banyak perubahan. Belum
setahun corrie meneruskan sekolahnya di betawi, ayahnya sudah meninggal. Demi
menrima telegram dari Tuan Assisten Residen Solok menyatakan hal kematian
ayahnya itu, Corrie bagai tak dapat dilarai –larai dari pada sedihnya. Corrie
akhirnya memutuskan untuk pergi.
Dia mulai membereskan pakaiannya untuk berangkat ke solok untuk
melihat kuburan ayahnya itu. Tetapi di akhirinya lah keberangkatannya ke solok.
Sebab dia tidak sanggup melihat sendiri kuburan ayahnya karena di solok tidak
ada tempatnya lagi untuk mencurahkan isi hatinya. Akhirnya dia mengirimkan
telegram ke pada Assisten Residen supaya kuburan ayahnya di perlakukan secara
layak. Sampai akhirnya umur Corrie sudah 21 Tahun yang tinggal di Weeskamer.
Akhirnya dia dapat menerima peninggalan dari ayahnya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Angkatan Balai Pustaka
Yang menonjol pada masa
lahirnya sastra angkatan Balai Pustaka ialah cita-cita masyarakat dan sikap
hidup serta adat istiadat (Sarwadi, 1999: 31). Hal itu tervermin oleh kesadaran
masyarakat khususnya para penulis akan pentingnya persatuan demi terciptanya kesatuan
bangsa yang diperlihatkan melalui karya sastra yang telah memperegunaklan
bahasa persatuan Indonesia akan tetapi dengan hal tersebut tidak memperlihatkan
bahwa setiap masyarakat Indonesiatelah meninggalkan adat istiadanya namun
dengan keaneka ragaman adapt istiadatnya menjadikan suatu alat untuk
mempersatukan bangsa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut maka sifat-sifat khas
angkatan Balai Pustaka adalah:
1.
Sebagian besar
sastra angkatan Balai Pustaka mengambil tema masalah kawin paksa (Menurut
masyarakat perkawinan itu urusan orang tua, pihak orang tua berkuasa sepenuhnya
untuk menjodohkan anaknya).
2.
Latar belakang
sosial sastra angkatan Balai Pustaka berupa pertentanga paham antara kaum muda
dengan kaum tua. Kita bisa mengaambil contoh novel Salah Asuhan, Si Cebol
Rindukan Bulan, yang memiliki kecenderungan simpati kepada yang lama, bahwa
yang baru tidak semuanya membawa kebaikan.
3.
Unsur
nasionalitas pada sastra Balai Pustaka belum jelas. Pelaku-pelaku novel
angkatan Balai Pustaka masih mencerminkan kehidupan tokoh-tokoh yang berasal
dari daerah-daerah.
4.
Peristiwa yang
diceeeritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
5.
Analisis
psikologis pelakunya belum dilukiskan secara mendalam.
6.
Sastra Balai
Pustaka merupakan sastra bertendes dan bersifat didaktis yaitu lebih cenderung
pada sesuatu khususnya mengenai permasalahan diatas sehingga terlihat
seolah-olah karyanya hanya itu-itu saja/monoton.
7.
Bahasa sastra
Balai Pustaka adalah bahasa Indonesia pada masa permulaan perkembangan yang
pada masa itu disebut bahasa melayu umum.
8.
Genre sastra
Balai Pustaka berbentuk novel, sedangkan puisinya masih berupa pantun dan syair
B.
Ciri-ciri Karya
Sastra Angkatan Balai Pustaka
Selain mengambil latar belakang kehidupan
masyarakat Minangkabau, pada sebagian karya sastranya, masih terdapat beberapa
ciri-ciri lainnya yang cukup mencolok di antara karya sastra lainnya, di
antaranya adalah:
1.
Karya sastra
angkatan balai pustaka pada umumnya hanya berceritakan mengenai
kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
2.
Karya-karya
pada angkatan balai pustaka juga tidak berbicara mengenai politik, kemiskinan,
dan nilai-nilai sekularisasi.
3.
Para penulisnya
lebih bersifat kompromistis terhadap keadaan politik pada masa itu, pengarang
berusaha untuk bersikap ramah dan baik terhadap pemerintah kolonial agar
karya-karya yang mereka hasilkan dapat diterbitkan.
Karya-karya
yang ada pada angkatan balai pustaka memang dibuat sedemikian rupa agar tidak
menyinggung perpolitikan kaum kolonial. Karya-karya dari balai pustaka disortir
secara ketat untuk mengurangi kemungkinan ada karya-karya yang berbau menentang
pemerintahan kolonial. Contoh paling dekatnya adalah
karya Siti Nurbaya. Dalam karya tersebut kita dapat melihat
bahwa Syamsul Bahri yang diposisikan sebagai tokoh protagonis lebih memilih
untuk menjadi bagian dari tentara kolonial demi membalaskan amarahnya ke Datuk
Maringgih. Syamsul Bahri dalam roman tersebut terkesan tidak nasionalis,
sedangkan Datuk Maringgih berada pada pihak yang membangkang aturan-aturan
kolonial terlepas dari sifatnya yang buruk dan licik. Hal ini bukan dikarenakan
tidak adanya rasa nasionalisme pada diri bangsa Indonesia, namun lebih didasari
atas aturan ketat syarat pempublikasian karya sastra yang diatur oleh pihak
penerbit balai pustaka. Adapun aturan-aturan tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Netral dari
visi dan misi yang berkaitan dengan ajaran agama.
2.
Netral dari
visi dan misi yang berkaitan dengan propaganda politik.
3.
Karya yang akan
diterbitkan adalah karya yang memiliki nilai mendidik.
Karena syarat dan ketentuan yang ketat dari
pihak penerbit balai pustaka, maka tidak kita temukan karya-karya yang mengacu
kepada kritikan terhadap perpolitikan kaum kolonial pada masa itu. Karya-karya
tersebut terlebih dahulu disaring agar bisa lulus penyeleksian karya-karya yang
akan dipublikasi.
C. Angkatan Balai Pustaka (1920—1933)
Balai Pustaka didirikan pada
tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an kegiatannya dikenal banyak pembaca
(Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah
Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000
setiap tahun guna keperluan sekolah bumi putera yang ternyata justru
meningkatkan pendidikan masyarakat. Commissie voor de Inlandsche School-en
Volkslectuur, yang dalam perkembangannya berganti nama Balai Poestaka,
didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan yang “tepat” bagi
penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan Barat.
Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa strategi
signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu:
1.
merekrut dewan redaksi secara
selektif
2.
membentuk jaringan distribusi
buku secara sistematis
3.
menentukan kriteria literer
4.
mendominasi dunia kritik sastra
Pada masa
ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu standar yang yang lebih
baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh
karena itu, para lulusan sekolah asal Minangkabau, yang diperkirakan lebih
mampu mempelajari bahasa Melayu Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah
Armjin Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel
pertamanya yang berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920-an. Novel yang mengangkat
fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi dunia sastra.
Novel-novel lain dengan tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun ciri-ciri
karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu:
1.
Gaya Bahasa : Ungkapan klise
pepatah/pribahasa.
2.
Alur : Alur Lurus.
3.
Tokoh : Plot karakter ( digambarkan
langsung oleh narator ).
4.
Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan
orang pertama.
5.
Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak
terlalu penting, yang
dapat menganggu kelancaran teks.
6.
Corak : Romantis sentimental.
7.
Sifat : Didaktis (pendidikan)
8.
Latar belakang social : Pertentangan paham antara kaum muda dengan
tua.
9.
Peristiwa yang diceritakan
saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
10.
Puisinya berbentuk syair dan
pantun.
11.
Menggambarkan tema pertentangan
paham antara kaum tua dan kaum muda, soal
pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
12.
Soal kebangsaan belum
mengemuka, masih bersifat kedaerahan.
D.
KESUSASTRAAN ANGKATAN BALAI PUSTAKA
Angkatan kesusastraan Indonesia balai pustaka,
dimulai penghitungannya dari tahun 1920. Kelompok ini disebut dengan
angkatan balai pustaka karena pada masa tersebut buku-buku sastra pada umumnya
diterbitkan oleh penerbit balai pustaka. Lahirnya angkatan balai pustaka pada
kesusastraan Indonesia dilakukan untuk mengurangi pengaruh buruk kesusastraan
melayu yang dianggap terlalu cabul dan liar pada masa itu. Pada angkatan balai
pustaka ini, karya sastra yang dipublikasikan oleh penerbit merupakan
karya-karya yang amat memelihara perbahasaannya, berbeda dengan karya sastra
lainnya dengan penggunakan bahasa sehari-hari sebagai bahasa pengantar
sastranya dan bahkan tidak jarang di antara karya sastra tersebut yang masih
menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar sastra yang mereka hasilkan.
Pada angkatan balai pustaka, kesusastraan
Indonesia lebih bercorak Minangkabau. Hal ini terjadi karena kebanyakan editor
yang ada pada masa balai pustaka memang berasal dari Sumatra Barat. Masa ini
adalah masa ketika penulis dan editornya lebih banyak berdarah Sumatra, maka
bisa dibilang angkatan ini lebih banyak menghasilkan karya-karya kesumatraan.
Selain disebut sebagai angkatan balai pustaka, karya-karya yang lahir pada masa
angkatan kesusastraan ini juga disebut dengan angkatan dua puluh. Titik awal
angkatan balai pustaka dimulai ketika terbitnya roman Azab dan
Sengsara oleh Merari Siregar, yang disebut juga sebagai awal kebangkitan
angkatan balai pustaka. Karyanya Azab dan Sengsara memang lebih
banyak menggunakan Bahasa Melayu dibandingkan dengan Bahasa Indonesia, karena
pada masa itu bahasa Indonesia masih mengalami perkembangan. Namun, bukan
berarti karya Merari ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai karya sastra
Indonesia, karena prinsip dasar sastra Indonesia adalah karya-karya yang
dijiwai oleh semangat nasionalisme Indonesia.
Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 –
1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita
pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun,
gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka
didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan
liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan
pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka
menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan
bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan
bahasa Madura.
E.
Pengaruh
Angkatan 20 ( Balai Pustaka ) Pada Beberapa Ragam Karya Sastra
Angkatan 20 disebut juga angkatan Balai
Pustaka. Balai Pustaka merupakan nama badan yang didirikan oleh Pemerintah
Belanda pada tahun 1908. Badan tersebut sebagai penjelmaan dari Commissie
voor De Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat.Commissie voor De
Volkslectuur dibentuk pada tanggal 14 April 1903. Komisi ini bertugas
menyediakan bahan-bahan bacaan bagi rakyat Indonesia pada saat itu. Untuk
memperoleh bacaan rakyat, komisi menempuh beberapa cara, yaitu:
1.
Mengumpulkan
dan membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang tersebar di
kalangan rakyat. Naskah ini diterbitkan sesudah diubah atau disempurnakan.
2.
Menterjemahkan
atau menyadur hasil sastra Eropa.
3.
Karangan
pengarang-pengarang muda yang isinya sesuai dengan keadaan hidup sekitarnya.
Naskah-naskah tersebut
menggunakan bahasa Melayu dan bahasa-bahasa daerah lainnya, serta berupa bacaan
anak-anak, bacaan orang dewasa sebagai penghibur dan penambah pengetahuan. Pada tahun 1917
Komisi Bacaan Rakyat barubah namanya menjadi Balai Pustaka. Balai Pustaka
menyelenggarakan penerbitan buku-buku dan mengadakan taman-taman perpustakaan,
dan menerbitkan majalah.. Penerbitan majalah dilakukan satu atau dua minggu
sekali. Adapun majalah-majalah yang diterbitkan yaitu:
1.
Sari Pustaka
(dalam Bahasa Melayu, 1919)
2.
Panji Pustaka
(dalam Bahasa Melayu, 1923)
3.
Kejawen (dalam
Bahasa Jawa)
4.
Parahiangan
(dalam Bahasa Sunda)
Ketiga majalah yang terakhir itu terbit sampai
pemerintah Hindia Belanda runtuh.
Lahirnya Balai Pustaka sangat menguntungkan
kehidupan dan perkembangan sastra di tanah air baik bidang prosa, puisi, dan
drama. Peristiwa- peristiwa sosial, kehidupan adat-istiadat, kehidupan agama,
ataupun peristiwa kehidupan masyarakat lainnya banyak yang direkam dalam
buku-buku sastra yang terbit pada masa itu.
Lahirnya angkatan 20 (Balai Pustaka) mempengaruhi
beberapa ragam karya sastra, diantaranya:
R O M A
N
Pada ragam karya sastra prosa timbul genre baru
ialah roman, yang sebelumnya belum pernah ada. Buku roman pertama Indonesia
yang diterbitkan oleh Balai Pustaka berjudul Azab dan Sengsara karya
Merari Siregar pada tahun 1920. Roman Azab dan Sengsara ini oleh para
ahli dianggap sebagai roman pertama lahirnya sastra Indonesia. Isi
roman Azab dan Sengsara sudah tidak lagi menceritakan hal-hal yang
fantastis dan istanasentris, melainkan lukisan tentang hal-hal yang benar
terjadi dalam masyarakat yang dimintakan perhatian kepada golongan orang tua
tentang akibat kawin paksa dan masalah adat. Adapun isi
ringkasan roman Azab dan Sengsara sebagai berikut:
Cinta yang tak sampai antara kedua anak muda
(Aminuddin dan Mariamin), karena rintangan orang tua. Mereka saling mencintai
sejak di bangku sekolah, tetapi akhirnya masing-masing harus kawin dengan orang
yang bukan pilihannya sendiri. Pihak pemuda (Aminuddin) terpaksa menerima gadis
pilihan orang tuanya, yang akibatnya tak ada kebahagian dalam hidupnya. Pihak
gadis (Mariamin) terpaksa kawin dengan orang yang tak dicintai, yang berakhir
dengan penceraian dan Mariamin mati muda karena merana.
Genre roman mencapai puncak yang sesungguhnya
ketika diterbitkan buku Siti Nurbaya karya Marah Rusli pada tahun
1922. Pengarang tidak hanya mempersoalkan masalah yang nyata saja, tapi
mengemukakan manusia-manusia yang hidup. Pada roman Siti
Nurbaya tidak hanya melukiskan percintaan saja, juga mempersoalkan
poligami, membangga-banggakan kebangsawanan, adat yang sudah tidak sesuai
dengan zamannya, persamaan hak antara wanita dan pria dalam menentukan
jodohnya, anggapan bahwa asal ada uang segala maksud tentu tercapai.
Persoalan-persoalan itulah yang ada di masyarakat.
Sesudah itu, tambah
membanjirlah buku-buku atau berpuluh-puluh pengarang yang pada umumnya
menghasilkan roman yang temanya mengarah- arah Siti Nurbaya. Golongan
sastrawan itulah yang dikenal sebagai Generasi Balai Pustaka atau Angkatan 20.
Genre prosa hasil Angkatan 20 ini mula-mula sebagian besar berupa roman.
Kemudian, muncul pula cerpen dan drama.
BAB IV
KESIMPULAN
Balai Pustaka merupakan suatu angkatan dalam periodisasi
sastra yang terkenal dengan sebutan angkatan pembangkit karena lahir pada masa
kebangkitan sastra Indonesia yaitu pada periode tahun 1920 sampai tahun 1942.
Namun Balai Pustaka juga dikenal sebagai nama sebuah penerbit yang memang
keberadaannya menunjang penerbitan sastra-sastra pada masa itu. Melihat
kenyataan tersebut maka karakteristik yang membedakan sastra angkatan Balai
Pustaka dengan sastra angkatan lainnya adalah: karya-karyannya kebanyakan
bertemakan kawin paksa, memuat pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum
muda, unsur nasionalitas yang terkandung dalam karya sastra belum jelasm,
peristiwa yang diceritakan hanya merupakan realitas kehidupan, analisis
psikologi dalam karya sastra masih kurang, karya-karya angkatan Balai Pustaka
bersifat didaktis, bahasa yang digunakan adalah bahasa melayu umum, serta yang
paling membedakan sastra angkatan Balai Pustaka dengan angkatan lainya yaitu
genre asil karyanya berupa novel, pantun dan syair.
Angkatan Balai Pustaka bisa disebut masa dimana proses
modernisasi karya-karya sastra terjadi. Dimana tidak lagi terpaut oleh
budaya-budaya melayu yang kental.
Balai Pustaka merupakan suatu angkatan yang sangat
berpengaruh kepada perkembangan perpustakaan baru terutama yang tertulis dengan
huruf latin (Usman, 1979: 15). Hal itu tercermin dengan pindahnya pusat
perhatian orang-orang yang berminat kepada kesusastraan ke Balai Pustaka
(Jakarta) yang berpengaruh pada perkembangan bahasa dari bahasa melayu baru
(yang banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa daerah dan bahasa surat kabar)
kemudian menjelma menjadi bahasa Indonesia.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan
munculnya angkatan Balai Pustaka maka telah membuka hati para penulis untuk mau
memperlihatkan hasil karyanya yang dulunya menggunakan bahasa daerah kemudian
beralih menggunakan bahasa Indonesia sebagai ungkapan rasa bangga berbangsa
Indonesia. Saelain
itu, dengan munculnya angkatan Balai Pustaka maka telah membuka semangat dan
kesadaran para penulis untuk mempersatukan daerah-daerahnya demi keutuhan
bangsa Indonesia. Disisi lain Balai Pustaka juga dikenal sebagai nama suatu
penerbit besar yang berdiri pada sekitar tahun 1920an yang pada tahun tersebut
beriringan dengan munculnya angkatan Balai Pustaka. Munculnya angkatan Balai
Pustaka memang disesuaikan dengan karya-karya besar yang terkenal pada waktu
itu yang sebagian besar diterbitkan dari penerbit Balai Pustaka Jakarta.
Berbicara mengenai periodisasi sastra
khususnya Balai Pustaka maka tidak menutup kemungkinan kalau meninjau tentang
keadaan sosial pada tahun 1920an, dimana menurut Teeuw (1980: 15) pada tahun
tersebut merupakan tahun lahirnya kesusastraan Indonesia modern. Pada waktu itu para pemuda indonesia
mulai menyatakan perasaan dan ide yang berbeda dengan masyarakat setempat.
Perasan itu dituangkan dalam bentuk sastra namun menyimpang dari bentuk sastra
melayu, jawa, dan sastra-sastra lain sebelumnya.
Melihat kenyataan tersebut, khususnya menyangkut tentang
pengkajian masalah karakteristik sastra angkatan Balai Pustaka sepengetahuan
penulis belum pernah dilakukan. Maka penulis ingin menganalisis dengan tujuan untuk
mengetahui lebih dalam tentang angkatan Balai Pustaka yang mencakup tokoh,
karakteristik, dan hasil karyanya.
DAFTAR
PUSTAKA
o Bezemer 1921
T.
J. Bezemer, Beknopte Encyclopædie van Nederlands-Indië,
Leiden/'s-Gravenhage/Batavia: Brill/Martinus Nijhoff/Kolff. (In Dutch; "A
Concise Encyclopaedia of the Netherlands East Indies".)
o Bezemer 1943
T.
J. Bezemer, Vier eeuwen Maleische literatuur in vogelvlucht, Deventer: W.
van Hoeve. (In Dutch; "Four Centuries of Malay Literature: A Bird's Eye
View".)
o Braasem 1949
W.
A. Braasem, “Uit dromenland naar stof en zweet. Moderne Indonesische poëzie”,
in: Indonesië. Tweemaandelijks tijdschrift gewijd aan het Indonesisch
cultuurgebied 1949(3)-2(September) pp. 151-77. (In Dutch; "From the
Realm of Dreams to Dust and Sweat. Modern Indonesian Poetry".)
o Pigeaud 1949
Th.
Pigeaud, "Bibliografie in Indonesië", in: Indonesië.
Tweemaandelijks tijdschrift gewijd aan het Indonesisch
cultuurgebied 1949(3)-2(September) pp. 124-29. (In Dutch;
"Bibliography in Indonesia".)
o Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus
Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
o Rosisdi, Ajip. 1986. Ikhtisar
Sejarah Sejarah Sastra Indonesia. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.
o Sarwadi. 1999. Sejarah Sastra
Indonesia Modern. Yogyakarta: Kurrnia Kalam Semesta.
o Teeuw, A. 1980. Sastra Baru
Indonesia. Flores: Nusa Indah Arnoldus.
o Teeuw, A. 2002. Sastra dan Ilmu
Sastra. Yoyakarta: Universitas Negeri Yoyakarta.
o Usman, Zuber. 1979. Kesusastraan
Baru Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
o http://http://sastralife.wordpress.com/Karya-sastra-angkatan-balaipustaka/