Senin, 03 Juni 2013

makalah


MAKALAH SEJARAH SASTRA
Ciri-ciri angkatan Balai Pustaka dalam roman Salah Asuhan karya abdul mukis


Disusun Oleh:

Eva Dwi Saslita


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA DAN SASTRA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Sejarah Angkatan Balai Pustaka
Dalam sejarahnya awal mula Balai Pustaka terbentuk ketika pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan komisi untuk bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat, pada 14 September 1908 melalui keputusan Gubernemen dengan nama awal yaitu Commissie voor de inlandsche school en volkslectuur diketuai oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Dan Balai Pustaka baru menghasilkan bacaan pada tahun 1910 yang dipimpin oleh Dr. D.A. Rinkes sampai tahun 1916 dengan tugasnya adalah memajukam moral dan budaya serta meningkatkan apresiasi sastra. Kemudian pada tahun 1917 pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan Kantoor voor de volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat yaitu Balai Pustaka.
Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa – bahasa seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu tinggi dan bahasa Madura. Serta mencegah pengaruh buruk dari bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Tujuan inti didirikannya Komisi Bacaan Rakyat adalah meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa Indonesia lewat media tulisan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda. Tujuan lainnya adalah menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa hal ini bertujuan agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang di negaranya sendiri.
Adapun usaha – usaha positif yang dilakukan yaitu mengadakan perpustakaan di tiap – tiap sekolah, mengadakan peminjaman buku – buku dengan tarif murah secara teratur, dan memberikan bantuan kepada usaha – usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan.
Jadi, beberapa faktor berikut inilah yang menjadi penyebab perjalanan kesusastraan Indonesia berkembang mengikuti idiologi kolonial :
  1. Pendirian Balai Pustaka telah menafikan keberadaan karya – karya terbitan swasta yang secara sepihak dituding sebagai “bacaan liar”. Karya – karya sastra yang dipublikasikan lewat surat kabar dan majalah, dianggap tidak ada.
  2. Pemberlakuan sensor melalui Nota Rinkes menyebabkan buku – buku terbitan Balai Pustaka, khasnya novel – novel Indonesia sebelum perang, cenderung menampilkan tokoh – tokoh yang terkesan karikaturs.
  3. Penetapan bahasa melayu mendorong munculnya sastrawan – sastrawan yang menguasai bahasa Melayu. Dan mereka datang dari Sumatera. Maka, sastrawan yang berasal dari Sumatera itulah yang kemudian mendominasi peta kesusastraan Indonesia.
Sastra Balai Pustaka adalah sastra rakyat yang berpijak pada kultur Indonesia abad 20. Hal ini dengan jelas nampak dari roman – roman Balai Pustaka dalam bahasa jawa, sunda, dan melayu tinggi. Sastra Balai Pustaka sebenarnya adalah “sastra daerah”, bukan saja dalam arti menggunakan bahasa daerah  tetapi juga menggarap tema – tema kedaerahan, bisa dilihat dari karya – karya yang lahir pada saat itu.
Saat itu buku – buku yang diterbitkan Balai Pustaka dapat dibagi tiga; pertama, buku untuk anak – anak. Kedua, buku hiburan dan penambahan pengetahuan dalam bahasa daerah. Ketiga, buku hiburan dan penambahan pengetahuan dalam bahasa melayu dan kemudian menjadi bahasa Indonesia.
Pada masa pendudukan jepang (1942-1945) Balai Pustaka masih tetap eksis namun menggunakan nama lain yaitu, Gunseikanbo Kokumin Tosyokyoku yang artinya Biro Pustaka Rakyat Pemerintah Militer Jepang.
Zaman keemasan Balai Pustaka sekitar tahun 1948 hingga pertengahan tahun 50-an ketika dipimpin oleh K.St. Pamoentjak dan mendominasi penerbitan buku – buku sastra dan sejumlah pengarang Indonesia bermunculan seperti H.B.Jassin, Idrus, M.Taslim, dan lain – lain.

B.     BIOGRAFI PENGARANG

Nama
               :          Abdul Muis
Lahir
               :            Sungai Puar-Bukit Tinggi, 3 Juli 1883
Meningga
        :           Bandung, 17 Juni 1959
Pendidikan      :
a.       Sekolah Dasar
b.      STOVIA /Sekolah dokter (tidak lulus)
Pengalaman
a.       PekerjaanPegawai Negeri
b.      Wartawan
Pengalaman Organisasi :
a.       Pengurus Besar Sarekat Islam
b.      Pendiri Komite Bumiputera
c.       Pendiri Persatuan Perjuangan Priangan
d.      Anggota Komite Indie Weerbaar
Perjuangan :
a.       Mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia    melalui tulisannya di harian de Express
b.       Menentang rencana Pemerintah Belanda mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaannya melalui Komite Bumiputera
c.        Memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta
d.       Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian Technische Hooge School - Institut Teknologi Bandung (ITB)
Karya Sastra                            : Salah Asuhan
Tanda Kehormatan
                 : Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Meninggal/Dimakamkan
         : Bandung, 17 Juni 1959

Melawan Belanda Dengan Pena
Perlawanan terhadap penjajahan Belanda dilakukannya tanpa putus-putus dengan berbagai cara. Dengan ‘pena’-nya yang tajam, partai politik, komite perlawanan orang pribumi, bahkan memimpin mogok kerja. Sebagai seorang wartawan, tulisan Abdul Muis merupakan tulisan perlawanan terhadap Belanda.
Begitu juga sebagai Pengurus Besar Sarekat Islam, ia selalu menanamkan semangat perlawanan kepada anggotanya. Ia juga mendirikan Komite Bumiputera bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya sebagai perlawanan terhadap rencana Pemerintah Belanda yang akan merayakan hari kemerdekaannya yang ke seratus di Indonesia.
Tokoh yang menjadi utusan ke Negeri Belanda sebagai anggota Komite Indie Weerbaar sehubungan dengan terjadinya Perang Dunia pertama ini, juga merupakan tokoh di belakang cikal bakal berdirinya Institut Teknologi Bandung (ITB). Pejuang yang juga terkenal sebagai sastrawan ini, hingga Indonesia merdeka tetap melakukan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan.
Sebelum terjun menekuni dunia kewartawanan, pria yang lahir di Sungai Puar, Bukit Tinggi, 3 Juli 1883, ini sempat menjadi pegawai negeri. Pekerjaan itu ia geluti beberapa waktu saja setelah memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya di STOVIA (Sekolah dokter). Namanya mulai dikenal oleh masyarakat ketika karangannya yang banyak dimuat di harian de Express selalu mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia.
Untuk mengefektifkan perjuangannya, ia selanjutnya terjun berpolitik praktis dengan menjadi anggota Sarekat Islam. Di organisasi tersebut ia diangkat menjadi salah seorang anggota Pengurus Besar. Kepada anggota sarekat, ia selalu menanamkan semangat perjuangan melawan penjajahan Belanda. Bahkan ketika Kongres Sarekat Islam diadakan pada tahun 1916, ia menganjurkan agar Sarekat Islam (SI) bersiap-siap menempuh cara kekerasan menghadapi Belanda jika cara lunak tidak berhasil.
Perlawanan tidak hanya ditujukannya kepada Pemerintahan kolonial Belanda, tapi terhadap ajaran-ajaran yang tidak disetujuinya. Seperti selama kesertaannya di Sarekat Islam, ia selalu berjuang agar diadakan disiplin partai, yang intinya untuk mengeluarkan anggota-anggota yang sudah dipengaruhi oleh paham komunis.
Pada tahun 1913, ia bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, mendirikan Komite Bumiputera. Komite ini dibentuk awalnya adalah untuk menentang rencana Pemerintah Belanda mengadakan perayaan peringatan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Perancis. Rencana Pemerintah Belanda tersebut memang sesuatu yang ironis. Di negeri yang sedang di jajahnya, mereka hendak merayakan hari kemerdekaannya secara besar-besaran. Itulah yang ditentang oleh para tokoh pergerakan nasional tersebut. Namun oleh karena perlawanan itu, ia akhirnya ditangkap oleh Pemerintah Belanda.
Ketika Perang Dunia I terjadi, bangsa ini pun siap sedia mengatasi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Untuk itu, pada tahun 1917, Abdul Muis diutus ke Negeri Belanda sebagai anggota Komite Indie Weerbaar guna membicarakan masalah pertahanan bagi bangsa Indonesia.
Selain itu, ia juga berusaha mempengaruhi tokoh-tokoh bangsa Belanda agar mendirikan sekolah teknik di Indonesia. Usahanya tersebut beberapa tahun kemudian membuahkan hasil. Oleh Belanda didirikanlah Technische Hooge School di Bandung yang dikemudian hari berganti nama menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB) sekarang.
Abdul Muis terkenal sebagai orang yang selalu membela kepentingan rakyat kecil. Ia sering berkunjung ke daerah-daerah untuk membela rakyat kecil tersebut sambil membangkitkan semangat para pemuda agar semakin giat berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia.
Melawan Belanda sepertinya ia tidak kehabisan ide, berbagai cara perlawanan pernah dilakukannya termasuk mengajak kaum buruh untuk melakukan mogok. Seperti yang dilakukannya pada tahun 1922, ia memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta. Karena tindakannya itu, ia kembali ditangkap oleh Pemerintah Belanda dan mengasingkannya ke Garut, Jawa Barat.
Di samping terkenal sebagai pejuang kemerdekaan, ia juga terkenal sebagai seorang sastrawan Indonesia. Karya sastra yang berjudul “Salah Asuhan” yang sangat terkenal itu merupakan salah satu dari karyanya. Sang Pahlawan Pergerakan Nasional dan Sastrawan yang hingga kemerdekaan ini tetap tinggal di Jawa Barat berprinsip bahwa perjuangan tidak pernah berhenti. Setelah kemerdekaan ia mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan, suatu persatuan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada tanggal 17 Juni 1959, pahlawan ini meninggal di Bandung dan dimakamkan di sana juga.
BAB II
KARYA YANG DIANALISIS
Sinopsis Roman Salah Asuhan
Judul                           : SALAH ASUHAN
Pengarang                   : Abdul Muis
Tahun terbit                 : 1995
Penerbit                       :  Balai Pustaka
Jumlah halaman           : 262 halaman
Sinopsis
Hanafi, laki-laki muda yang asli orang Minangkabau, berpendidikan tinggi dan berpandangan kebarat-baratan. Bahkan ia cenderung memandang rendah bangsanya sendiri. Sejak kecil Hanafi berteman dengan Corrie du Bussee, gadis Indo-Belanda yang amat cantik parasnya, lincah dan menjadi dambaan setiap pria yang mengenalnya. Karena selalu bersama-sama mereka pun saling mencintai satu sama lain.
Setiap hari mereka berdua bermain tenis. Tapi cinta mereka tidak dapat disatukan karena perbadaan bangsa. Jika orang Bumiputera menikah dengan keturunan Belanda maka mereka akan dijauhi oleh para sahabatnya dan orang lain. Untuk itu Corrie pun meninggalkan Minangkabau dan pergi ke Betawi agar hilanglah perasaan Corrie kepada Hanafi. Perpindahan itu sengaja ia lakukan untuk menghindar dari Hanafi dan sekaligus untuk meneruskan sekolahnya di sana.
Tuan du bussee adalah ayah Corrie. Dia adalah orang prancis yang sudah pension dari jabatan arsiteknya. Di hari pensiunnya dia menghabiskan waktu untuk anaknya Corrie. Tapi dia juga suka dengan berburu, meski umurnya sudah enam puluh Tahun.
Tidak ada hutan belukar yang tidak dia kunjungi. Apa bila senapan itu meletus, dapatlah seeokor penghuni rimba. Kulitnya di jemur lalu dikirim ke paris. Dari situlah biaya kehidupan Corrie untuk bersekolah dan untuk makan mereka berdua sebab istri Tuan Du  bussee sudah meninggal sejak Corrie masih kecil. Pada waktu itu juga dia tidak sampai hati meninggalkan kuburan istrinya yang berada di solok.
Akhirnya ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah. Rapiah adalah sepupu Hanafi, gadis Minangkabau sederhana yang berperangai halus, taat pada tradisi dan adatnya. Ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah yaitu untuk membalas budi pada ayah Rapiah yang telah membantu membiayai sekolah Hanafi.
Awalnya Hanafi tidak mau karena cintanya hanya untuk Corrie saja. Tapi dengan bujukan ibunya walaupun terpaksa ia menikah juga dengan Rapiah. Karena Hanafi tidak mencintai Rapiah, di rumah Rapiah hanya diperlakukan seperti babu, mungkin Hanafi menganggap bahwa Rapiah itu seperti tidak ada apabila banyak temannya orang Belanda yang datang ke rumahnya. Hanafi dan Rapiah dikarunia seorang anak laki-laki yaitu Syafei.
Suatu hari Hanafi digigit anjing gila, maka dia harus berobat ke Betawi agar sembuh. Di Betawi Hanafi dipertemukan kembali dengan Corrie. Disana, Hanafi menikah dengan Corrie dan mengirim surat pada ibunya bahwa dia menceraikan Rapiah. Ibu Hanafi dan Rapiah pun sangat sedih tetapi walaupun Hanafi seperti itu Rapiah tetap sabar dan tetap tinggal dengan Ibu Hanafi. Perkawinannya dengan Corrie ternyata tidak bahagia, sampai-sampai Corrie dituduh suka melayani laki-laki lain oleh Hanafi. Akhirnya Corrie pun sakit hati dan pergi dari rumah menuju Semarang. Corrie sakit Kholera dan meninggal dunia.
Hanafi sangat menyesal telah menyakiti hati Corrie dan sangat sedih atas kematian Corrie, Hanafi pun pulang kembali ke kampung halamannya dan menemui ibunya, disna Hanafi hanya diam saja. Seakan-akan hidupnya sudah tidak ada artinya lagi. Hanafi sakit, kata dokter ia minum sublimat (racun) untuk mengakiri hidupnya, dan akhirnya dia meninggal dunia.
Dua Tahun sudah terlampaui, Corrie sudah banyak perubahan. Belum setahun corrie meneruskan sekolahnya di betawi, ayahnya sudah meninggal. Demi menrima telegram dari Tuan Assisten Residen Solok menyatakan hal kematian ayahnya itu, Corrie bagai tak dapat dilarai –larai dari pada sedihnya. Corrie akhirnya memutuskan untuk pergi.
Dia mulai membereskan pakaiannya untuk berangkat ke solok untuk melihat kuburan ayahnya itu. Tetapi di akhirinya lah keberangkatannya ke solok. Sebab dia tidak sanggup melihat sendiri kuburan ayahnya karena di solok tidak ada tempatnya lagi untuk mencurahkan isi hatinya. Akhirnya dia mengirimkan telegram ke pada Assisten Residen supaya kuburan ayahnya di perlakukan secara layak. Sampai akhirnya umur Corrie sudah 21 Tahun yang tinggal di Weeskamer. Akhirnya dia dapat menerima peninggalan dari ayahnya.



BAB III
PEMBAHASAN
A.    Karakteristik Angkatan Balai Pustaka 
Yang menonjol pada masa lahirnya sastra angkatan Balai Pustaka ialah cita-cita masyarakat dan sikap hidup serta adat istiadat (Sarwadi, 1999: 31). Hal itu tervermin oleh kesadaran masyarakat khususnya para penulis akan pentingnya persatuan demi terciptanya kesatuan bangsa yang diperlihatkan melalui karya sastra yang telah memperegunaklan bahasa persatuan Indonesia akan tetapi dengan hal tersebut tidak memperlihatkan bahwa setiap masyarakat Indonesiatelah meninggalkan adat istiadanya namun dengan keaneka ragaman adapt istiadatnya menjadikan suatu alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut maka sifat-sifat khas angkatan Balai Pustaka adalah:
1.      Sebagian besar sastra angkatan Balai Pustaka mengambil tema masalah kawin paksa (Menurut masyarakat perkawinan itu urusan orang tua, pihak orang tua berkuasa sepenuhnya untuk menjodohkan anaknya). 
2.      Latar belakang sosial sastra angkatan Balai Pustaka berupa pertentanga paham antara kaum muda dengan kaum tua. Kita bisa mengaambil contoh novel Salah Asuhan, Si Cebol Rindukan Bulan, yang memiliki kecenderungan simpati kepada yang lama, bahwa yang baru tidak semuanya membawa kebaikan.
3.      Unsur nasionalitas pada sastra Balai Pustaka belum jelas. Pelaku-pelaku novel angkatan Balai Pustaka masih mencerminkan kehidupan tokoh-tokoh yang berasal dari daerah-daerah.
4.      Peristiwa yang diceeeritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
5.      Analisis psikologis pelakunya belum dilukiskan secara mendalam.
6.      Sastra Balai Pustaka merupakan sastra bertendes dan bersifat didaktis yaitu lebih cenderung pada sesuatu khususnya mengenai permasalahan diatas sehingga terlihat seolah-olah karyanya hanya itu-itu saja/monoton.
7.      Bahasa sastra Balai Pustaka adalah bahasa Indonesia pada masa permulaan perkembangan yang pada masa itu disebut bahasa melayu umum.
8.      Genre sastra Balai Pustaka berbentuk novel, sedangkan puisinya masih berupa pantun dan syair
B.     Ciri-ciri Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka
Selain mengambil latar belakang kehidupan masyarakat Minangkabau, pada sebagian karya sastranya, masih terdapat beberapa ciri-ciri lainnya yang cukup mencolok di antara karya sastra lainnya, di antaranya adalah:
1.      Karya sastra angkatan balai pustaka pada umumnya hanya berceritakan mengenai kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
2.      Karya-karya pada angkatan balai pustaka juga tidak berbicara mengenai politik, kemiskinan, dan nilai-nilai sekularisasi.
3.      Para penulisnya lebih bersifat kompromistis terhadap keadaan politik pada masa itu, pengarang berusaha untuk bersikap ramah dan baik terhadap pemerintah kolonial agar karya-karya yang mereka hasilkan dapat diterbitkan.
Karya-karya yang ada pada angkatan balai pustaka memang dibuat sedemikian rupa agar tidak menyinggung perpolitikan kaum kolonial. Karya-karya dari balai pustaka disortir secara ketat untuk mengurangi kemungkinan ada karya-karya yang berbau menentang pemerintahan kolonial. Contoh paling dekatnya adalah karya Siti Nurbaya. Dalam karya tersebut kita dapat melihat bahwa Syamsul Bahri yang diposisikan sebagai tokoh protagonis lebih memilih untuk menjadi bagian dari tentara kolonial demi membalaskan amarahnya ke Datuk Maringgih. Syamsul Bahri dalam roman tersebut terkesan tidak nasionalis, sedangkan Datuk Maringgih berada pada pihak yang membangkang aturan-aturan kolonial terlepas dari sifatnya yang buruk dan licik. Hal ini bukan dikarenakan tidak adanya rasa nasionalisme pada diri bangsa Indonesia, namun lebih didasari atas aturan ketat syarat pempublikasian karya sastra yang diatur oleh pihak penerbit balai pustaka. Adapun aturan-aturan tersebut adalah sebagai berikut.
1.  Netral dari visi dan misi yang berkaitan dengan ajaran agama.
2.  Netral dari visi dan misi yang berkaitan dengan propaganda politik.
3.  Karya yang akan diterbitkan adalah karya yang memiliki nilai mendidik.
Karena syarat dan ketentuan yang ketat dari pihak penerbit balai pustaka, maka tidak kita temukan karya-karya yang mengacu kepada kritikan terhadap perpolitikan kaum kolonial pada masa itu. Karya-karya tersebut terlebih dahulu disaring agar bisa lulus penyeleksian karya-karya yang akan dipublikasi.

C.     Angkatan Balai Pustaka (1920—1933)
Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an kegiatannya dikenal banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun guna keperluan sekolah bumi putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan masyarakat. Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur, yang dalam perkembangannya berganti nama Balai Poestaka, didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan yang “tepat” bagi penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan Barat. Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa strategi signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu:
1.      merekrut dewan redaksi secara selektif
2.      membentuk jaringan distribusi buku secara sistematis
3.      menentukan kriteria literer
4.      mendominasi dunia kritik sastra

Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu standar yang yang lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu, para lulusan sekolah asal Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu mempelajari bahasa Melayu Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah Armjin Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel pertamanya yang berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920-an. Novel yang mengangkat fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi dunia sastra. Novel-novel lain dengan tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun ciri-ciri karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu:
1.      Gaya Bahasa                     : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
2.      Alur                                   : Alur Lurus.
3.      Tokoh                                : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).
4.      Pusat Pengisahan              : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.
5.      Terdapat digresi                : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang
dapat menganggu kelancaran teks.
6.      Corak                                : Romantis sentimental.
7.      Sifat                                  : Didaktis (pendidikan)
8.      Latar belakang social        : Pertentangan paham antara kaum muda dengan tua.                                
9.      Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
10.  Puisinya berbentuk syair dan pantun.
11.  Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
12.  Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.

D.    KESUSASTRAAN ANGKATAN BALAI PUSTAKA
Angkatan kesusastraan Indonesia balai pustaka, dimulai penghitungannya dari tahun 1920.  Kelompok ini disebut dengan angkatan balai pustaka karena pada masa tersebut buku-buku sastra pada umumnya diterbitkan oleh penerbit balai pustaka. Lahirnya angkatan balai pustaka pada kesusastraan Indonesia dilakukan untuk mengurangi pengaruh buruk kesusastraan melayu yang dianggap terlalu cabul dan liar pada masa itu. Pada angkatan balai pustaka ini, karya sastra yang dipublikasikan oleh penerbit merupakan karya-karya yang amat memelihara perbahasaannya, berbeda dengan karya sastra lainnya dengan penggunakan bahasa sehari-hari sebagai bahasa pengantar sastranya dan bahkan tidak jarang di antara karya sastra tersebut yang masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar sastra yang mereka hasilkan.
Pada angkatan balai pustaka, kesusastraan Indonesia lebih bercorak Minangkabau. Hal ini terjadi karena kebanyakan editor yang ada pada masa balai pustaka memang berasal dari Sumatra Barat. Masa ini adalah masa ketika penulis dan editornya lebih banyak berdarah Sumatra, maka bisa dibilang angkatan ini lebih banyak menghasilkan karya-karya kesumatraan. Selain disebut sebagai angkatan balai pustaka, karya-karya yang lahir pada masa angkatan kesusastraan ini juga disebut dengan angkatan dua puluh. Titik awal angkatan balai pustaka dimulai ketika terbitnya roman Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar, yang disebut juga sebagai awal kebangkitan angkatan balai pustaka. Karyanya Azab dan Sengsara memang lebih banyak menggunakan Bahasa Melayu dibandingkan dengan Bahasa Indonesia, karena pada masa itu bahasa Indonesia masih mengalami perkembangan. Namun, bukan berarti karya Merari ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai karya sastra Indonesia, karena prinsip dasar sastra Indonesia adalah karya-karya yang dijiwai oleh semangat nasionalisme Indonesia.
Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 – 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.

E.     Pengaruh Angkatan 20 ( Balai Pustaka ) Pada Beberapa Ragam Karya Sastra
Angkatan 20 disebut juga angkatan Balai Pustaka. Balai Pustaka merupakan nama badan yang didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1908. Badan tersebut sebagai penjelmaan dari Commissie voor De Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat.Commissie voor De Volkslectuur dibentuk pada tanggal 14 April 1903. Komisi ini bertugas menyediakan bahan-bahan bacaan bagi rakyat Indonesia pada saat itu. Untuk memperoleh bacaan rakyat, komisi menempuh beberapa cara, yaitu:
1.      Mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang tersebar di kalangan rakyat. Naskah ini diterbitkan sesudah diubah atau disempurnakan.
2.      Menterjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa.
3.      Karangan pengarang-pengarang muda yang isinya sesuai dengan keadaan hidup sekitarnya.
Naskah-naskah tersebut menggunakan bahasa Melayu dan bahasa-bahasa daerah lainnya, serta berupa bacaan anak-anak, bacaan orang dewasa sebagai penghibur dan penambah pengetahuan. Pada tahun 1917 Komisi Bacaan Rakyat barubah namanya menjadi Balai Pustaka. Balai Pustaka menyelenggarakan penerbitan buku-buku dan mengadakan taman-taman perpustakaan, dan menerbitkan majalah.. Penerbitan majalah dilakukan satu atau dua minggu sekali. Adapun majalah-majalah yang diterbitkan yaitu:
1.      Sari Pustaka (dalam Bahasa Melayu, 1919)
2.      Panji Pustaka (dalam Bahasa Melayu, 1923)
3.      Kejawen (dalam Bahasa Jawa)
4.      Parahiangan (dalam Bahasa Sunda)
Ketiga majalah yang terakhir itu terbit sampai pemerintah Hindia Belanda runtuh.
Lahirnya Balai Pustaka sangat menguntungkan kehidupan dan perkembangan sastra di tanah air baik bidang prosa, puisi, dan drama. Peristiwa- peristiwa sosial, kehidupan adat-istiadat, kehidupan agama, ataupun peristiwa kehidupan masyarakat lainnya banyak yang direkam dalam buku-buku sastra yang terbit pada masa itu.
Lahirnya angkatan 20 (Balai Pustaka) mempengaruhi beberapa ragam karya sastra, diantaranya:

 R O M A N
Pada ragam karya sastra prosa timbul genre baru ialah roman, yang sebelumnya belum pernah ada. Buku roman pertama Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920. Roman Azab dan Sengsara ini oleh para ahli dianggap sebagai roman pertama lahirnya sastra Indonesia. Isi roman Azab dan Sengsara sudah tidak lagi menceritakan hal-hal yang fantastis dan istanasentris, melainkan lukisan tentang hal-hal yang benar terjadi dalam masyarakat yang dimintakan perhatian kepada golongan orang tua tentang akibat kawin paksa dan masalah adat. Adapun isi ringkasan roman Azab dan Sengsara sebagai berikut:
Cinta yang tak sampai antara kedua anak muda (Aminuddin dan Mariamin), karena rintangan orang tua. Mereka saling mencintai sejak di bangku sekolah, tetapi akhirnya masing-masing harus kawin dengan orang yang bukan pilihannya sendiri. Pihak pemuda (Aminuddin) terpaksa menerima gadis pilihan orang tuanya, yang akibatnya tak ada kebahagian dalam hidupnya. Pihak gadis (Mariamin) terpaksa kawin dengan orang yang tak dicintai, yang berakhir dengan penceraian dan Mariamin mati muda karena merana.
Genre roman mencapai puncak yang sesungguhnya ketika diterbitkan buku Siti Nurbaya karya Marah Rusli pada tahun 1922. Pengarang tidak hanya mempersoalkan masalah yang nyata saja, tapi mengemukakan manusia-manusia yang hidup. Pada roman Siti Nurbaya tidak hanya melukiskan percintaan saja, juga mempersoalkan poligami, membangga-banggakan kebangsawanan, adat yang sudah tidak sesuai dengan zamannya, persamaan hak antara wanita dan pria dalam menentukan jodohnya, anggapan bahwa asal ada uang segala maksud tentu tercapai. Persoalan-persoalan itulah yang ada di masyarakat.
Sesudah itu, tambah membanjirlah buku-buku atau berpuluh-puluh pengarang yang pada umumnya menghasilkan roman yang temanya mengarah- arah Siti Nurbaya. Golongan sastrawan itulah yang dikenal sebagai Generasi Balai Pustaka atau Angkatan 20. Genre prosa hasil Angkatan 20 ini mula-mula sebagian besar berupa roman. Kemudian, muncul pula cerpen dan drama.



BAB IV
KESIMPULAN
Balai Pustaka merupakan suatu angkatan dalam periodisasi sastra yang terkenal dengan sebutan angkatan pembangkit karena lahir pada masa kebangkitan sastra Indonesia yaitu pada periode tahun 1920 sampai tahun 1942. Namun Balai Pustaka juga dikenal sebagai nama sebuah penerbit yang memang keberadaannya menunjang penerbitan sastra-sastra pada masa itu. Melihat kenyataan tersebut maka karakteristik yang membedakan sastra angkatan Balai Pustaka dengan sastra angkatan lainnya adalah: karya-karyannya kebanyakan bertemakan kawin paksa, memuat pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda, unsur nasionalitas yang terkandung dalam karya sastra belum jelasm, peristiwa yang diceritakan hanya merupakan realitas kehidupan, analisis psikologi dalam karya sastra masih kurang, karya-karya angkatan Balai Pustaka bersifat didaktis, bahasa yang digunakan adalah bahasa melayu umum, serta yang paling membedakan sastra angkatan Balai Pustaka dengan angkatan lainya yaitu genre asil karyanya berupa novel, pantun dan syair.
Angkatan Balai Pustaka bisa disebut masa dimana proses modernisasi karya-karya sastra terjadi. Dimana tidak lagi terpaut oleh budaya-budaya melayu yang kental.
Balai Pustaka merupakan suatu angkatan yang sangat berpengaruh kepada perkembangan perpustakaan baru terutama yang tertulis dengan huruf latin (Usman, 1979: 15). Hal itu tercermin dengan pindahnya pusat perhatian orang-orang yang berminat kepada kesusastraan ke Balai Pustaka (Jakarta) yang berpengaruh pada perkembangan bahasa dari bahasa melayu baru (yang banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa daerah dan bahasa surat kabar) kemudian menjelma menjadi bahasa Indonesia.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan munculnya angkatan Balai Pustaka maka telah membuka hati para penulis untuk mau memperlihatkan hasil karyanya yang dulunya menggunakan bahasa daerah kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia sebagai ungkapan rasa bangga berbangsa Indonesia. Saelain itu, dengan munculnya angkatan Balai Pustaka maka telah membuka semangat dan kesadaran para penulis untuk mempersatukan daerah-daerahnya demi keutuhan bangsa Indonesia. Disisi lain Balai Pustaka juga dikenal sebagai nama suatu penerbit besar yang berdiri pada sekitar tahun 1920an yang pada tahun tersebut beriringan dengan munculnya angkatan Balai Pustaka. Munculnya angkatan Balai Pustaka memang disesuaikan dengan karya-karya besar yang terkenal pada waktu itu yang sebagian besar diterbitkan dari penerbit Balai Pustaka Jakarta.
Berbicara mengenai periodisasi sastra khususnya Balai Pustaka maka tidak menutup kemungkinan kalau meninjau tentang keadaan sosial pada tahun 1920an, dimana menurut Teeuw (1980: 15) pada tahun tersebut merupakan tahun lahirnya kesusastraan Indonesia modern. Pada waktu itu para pemuda indonesia mulai menyatakan perasaan dan ide yang berbeda dengan masyarakat setempat. Perasan itu dituangkan dalam bentuk sastra namun menyimpang dari bentuk sastra melayu, jawa, dan sastra-sastra lain sebelumnya.
Melihat kenyataan tersebut, khususnya menyangkut tentang pengkajian masalah karakteristik sastra angkatan Balai Pustaka sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Maka penulis ingin menganalisis dengan tujuan untuk mengetahui lebih dalam tentang angkatan Balai Pustaka yang mencakup tokoh, karakteristik, dan hasil karyanya.





DAFTAR PUSTAKA


o   Bezemer 1921
T. J. Bezemer, Beknopte Encyclopædie van Nederlands-Indië, Leiden/'s-Gravenhage/Batavia: Brill/Martinus Nijhoff/Kolff. (In Dutch; "A Concise Encyclopaedia of the Netherlands East Indies".)
o   Bezemer 1943
T. J. Bezemer, Vier eeuwen Maleische literatuur in vogelvlucht, Deventer: W. van Hoeve. (In Dutch; "Four Centuries of Malay Literature: A Bird's Eye View".)
o   Braasem 1949
W. A. Braasem, “Uit dromenland naar stof en zweet. Moderne Indonesische poëzie”, in: Indonesië. Tweemaandelijks tijdschrift gewijd aan het Indonesisch cultuurgebied 1949(3)-2(September) pp. 151-77. (In Dutch; "From the Realm of Dreams to Dust and Sweat. Modern Indonesian Poetry".)
o   Pigeaud 1949
Th. Pigeaud, "Bibliografie in Indonesië", in: Indonesië. Tweemaandelijks tijdschrift gewijd aan het Indonesisch cultuurgebied 1949(3)-2(September) pp. 124-29. (In Dutch; "Bibliography in Indonesia".)
o   Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. 
o   Rosisdi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sejarah Sastra Indonesia. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.
o   Sarwadi. 1999. Sejarah Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Kurrnia Kalam Semesta.
o   Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Flores: Nusa Indah Arnoldus.
o   Teeuw, A. 2002. Sastra dan Ilmu Sastra. Yoyakarta: Universitas Negeri Yoyakarta.
o   Usman, Zuber. 1979. Kesusastraan Baru Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. 
o   http://http://sastralife.wordpress.com/Karya-sastra-angkatan-balaipustaka/